Peraturan Pemerintah Nomor 10 TAHUN 2012

PERATURAN PEMERINTAH
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 10 TAHUN 2012
TENTANG
PERLAKUAN KEPABEANAN, PERPAJAKAN, DAN CUKAI SERTA TATA
LAKSANA PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BARANG KE DAN DARI SERTA
BERADA DI KAWASAN YANG TELAH DITETAPKAN SEBAGAI KAWASAN
PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
NOMOR 10 TAHUN 2012
TENTANG
PERLAKUAN KEPABEANAN, PERPAJAKAN, DAN CUKAI SERTA TATA
LAKSANA PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BARANG KE DAN DARI SERTA
BERADA DI KAWASAN YANG TELAH DITETAPKAN SEBAGAI KAWASAN
PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
- bahwa untuk mendukung kelancaran dan terwujudnya efisiensi dalam tata laksana pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari serta berada di kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, serta untuk mengoptimalkan pemberian fasilitas fiskal di Kawasan Bebas, perlu mengatur kembali mengenai perlakuan kepabeanan, perpajakan, dan cukai serta pengawasan atas pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari serta berada di kawasan yang telah ditunjuk sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas yang telah diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2009 tentang Perlakuan Kepabeanan, Perpajakan, dan Cukai serta Pengawasan atas Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari serta Berada di Kawasan yang telah Ditunjuk sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas;
- bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 115A ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan dan Pasal 16B ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Perlakuan Kepabeanan, Perpajakan, dan Cukai serta Tata Laksana Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari serta Berada di Kawasan yang telah Ditetapkan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas;
Mengingat :
- Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);
- Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3613) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4755);
- Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4053) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4775 );
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERLAKUAN KEPABEANAN, PERPAJAKAN, DAN CUKAI SERTA TATA LAKSANA PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BARANG KE DAN DARI SERTA BERADA DI KAWASAN YANG TELAH DITETAPKAN SEBAGAI KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
- Undang-Undang Kepabeanan adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
- Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
- Menteri adalah Menteri Keuangan.
- Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara di atasnya, serta tempat–tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan.
- Kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, yang selanjutnya disebut Kawasan Bebas, adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari Daerah Pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan cukai.
- Kawasan Pabean adalah kawasan dengan batas-batas tertentu di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang ditetapkan untuk lalu lintas barang yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
- Kewajiban Pabean adalah semua kegiatan di bidang kepabeanan yang wajib dilakukan untuk memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang Kepabeanan.
- Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya Kewajiban Pabean sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Kepabeanan.
- Tempat Penimbunan Sementara adalah bangunan dan/atau lapangan atau tempat lain yang disamakan dengan itu di Kawasan Pabean untuk menimbun barang, sementara menunggu pemuatan atau pengeluarannya.
- Badan Pengusahaan Kawasan adalah Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.
- Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disebut dengan PPN adalah Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
- Orang adalah orang perseorangan atau badan hukum.
- Pemberitahuan Pabean adalah pernyataan yang dibuat oleh Orang dalam rangka melaksanakan kewajiban pabean dalam bentuk dan syarat yang ditetapkan dalam Undang-Undang Kepabeanan.
Pasal 2
(1) | Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. |
(2) | Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas wajib dilakukan di pelabuhan atau bandar udara yang ditunjuk. |
(3) | Pelabuhan atau bandar udara yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan pelabuhan atau bandar udara yang telah mendapatkan izin dari Menteri Perhubungan dan telah mendapatkan penetapan sebagai Kawasan Pabean. |
(4) | Untuk kepentingan pengawasan dan pelayanan, Menteri menetapkan Kantor Pabean, Kawasan Pabean, dan Pos Pengawasan Pabean. |
(5) | Pemenuhan Kewajiban Pabean dilakukan di Kantor Pabean dengan menggunakan Pemberitahuan Pabean. |
(6) | Pemberitahuan Pabean disampaikan kepada pejabat bea dan cukai di Kantor Pabean. |
Pasal 3
(1) | Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas hanya dapat dilakukan oleh pengusaha yang telah mendapat izin usaha dari Badan Pengusahaan Kawasan. |
(2) | Pengusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat memasukkan barang ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean yang berhubungan dengan kegiatan usahanya. |
(3) | Pemasukan barang konsumsi untuk kebutuhan penduduk ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean, hanya dapat dilakukan oleh pengusaha yang telah mendapatkan izin usaha dari Badan Pengusahaan Kawasan, dalam jumlah dan jenis yang ditetapkan oleh Badan Pengusahaan Kawasan. |
(4) | Pemasukan barang konsumsi untuk kebutuhan penduduk ke Kawasan Bebas dari tempat lain dalam Daerah Pabean dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(5) | Dikecualikan
dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap
pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas atas:
|
Pasal 4
(1) | Pengusaha di Kawasan Bebas tidak perlu dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. |
(2) | Penyerahan barang di dalam Kawasan Bebas dibebaskan dari pengenaan PPN. |
(3) | Pengusaha Barang Kena Cukai di Kawasan Bebas tetap berlaku kewajiban memiliki Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai. |
(4) | Barang kena cukai produksi pabrik di Kawasan Bebas yang digunakan untuk kebutuhan konsumsi penduduk di Kawasan Bebas dapat diberikan pembebasan cukai. |
Pasal 5
(1) | Pemasukan
barang yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3:
|
(2) | Pengeluaran kembali atau pemusnahan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf c, dilakukan di bawah pengawasan Badan Pengusahaan Kawasan dan Direktorat Jenderal Beadan Cukai. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengeluaran kembali, penghibahan kepada negara, dan pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. |
BAB II
PEMERIKSAAN PABEAN
Pasal 6
PEMERIKSAAN PABEAN
Pasal 6
(1) | Terhadap barang yang dimasukkan ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean, Kawasan Bebas lain, Tempat Penimbunan Berikat, atau Kawasan Ekonomi Khusus, dilakukan penelitian dokumen. |
(2) | Dalam hal tertentu, terhadap barang yang dimasukkan ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean, Kawasan Bebas lain, Tempat Penimbunan Berikat, atau Kawasan Ekonomi Khusus, dapat dilakukan pemeriksaan fisik. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penelitian dokumen dan pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Peraturan Menteri. |
Pasal 7
(1) | Terhadap barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean, Kawasan Bebas lain, Tempat Penimbunan Berikat, atau Kawasan Ekonomi Khusus, dilakukan penelitian dokumen. |
(2) | Dalam hal tertentu, barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean, Kawasan Bebas lain, Tempat Penimbunan Berikat, atau Kawasan Ekonomi Khusus, dapat dilakukan pemeriksaan fisik. |
(3) | Terhadap barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean, dilakukan pemeriksaan pabean. |
(4) | Pemeriksaan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi penelitian dokumen dan pemeriksaan fisik barang. |
(5) | Pemeriksaan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara selektif. |
(6) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penelitian dokumen dan pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), diatur dengan Peraturan Menteri. |
BAB III
PENGANGKUTAN, PEMBONGKARAN, PEMUATAN,
PENIMBUNAN, DAN PENGELUARAN BARANG
Bagian Kesatu
Pengangkutan Barang
Paragraf 1
Kedatangan Sarana Pengangkut
Pasal 8
PENGANGKUTAN, PEMBONGKARAN, PEMUATAN,
PENIMBUNAN, DAN PENGELUARAN BARANG
Bagian Kesatu
Pengangkutan Barang
Paragraf 1
Kedatangan Sarana Pengangkut
Pasal 8
(1) | Pengangkut
yang sarana pengangkutnya akan datang dari:
|
(2) | Pemberitahuan
rencana kedatangan sarana pengangkut sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan:
|
(3) | Pengangkut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang sarana pengangkutnya memasuki Kawasan Bebas, wajib mencantumkan barang yang diangkutnya dalam manifesnya. |
(4) | Pengangkut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang sarana pengangkutnya datang dari luar Daerah Pabean, dari Kawasan Bebas lainnya, atau datang dari tempat lain dalam Daerah Pabean dengan mengangkut barang, wajib menyerahkan Pemberitahuan Pabean mengenai barang yang diangkutnya sebelum melakukan pembongkaran. |
(5) | Dalam
hal tidak segera dilakukan pembongkaran, kewajiban sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) dilaksanakan:
|
(6) | Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5), dikecualikan bagi pengangkut yang sarana pengangkutnya berlabuh paling lama 24 (dua puluh empat) jam dan tidak melakukan pembongkaran barang. |
(7) | Dalam
hal sarana pengangkut dalam keadaan darurat, pengangkut dapat
membongkar barang terlebih dahulu dan wajib:
|
Paragraf 2
Keberangkatan Sarana Pengangkut
Pasal 9
Keberangkatan Sarana Pengangkut
Pasal 9
(1) | Pengangkut
yang sarana pengangkutnya akan berangkat dari Kawasan Bebas menuju ke:
|
(2) | Pengangkut
yang sarana pengangkutnya menuju ke:
|
Bagian Kedua
Pembongkaran Barang
Pasal 10
Pembongkaran Barang
Pasal 10
(1) | Barang yang diangkut sarana pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), wajib dibongkar di Kawasan Pabean atau dapat dibongkar di tempat lain setelah mendapat izin Kepala Kantor Pabean. |
(2) | Izin pembongkaran di tempat lain oleh Kepala Kantor Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah mendapatkan rekomendasi dari Badan Pengusahaan Kawasan. |
(3) | Rekomendasi dari Badan Pengusahaan Kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak diperlukan dalam hal sarana pengangkut dalam keadaan darurat. |
(4) | Pembongkaran barang di luar Kawasan Pabean atau tempat lain tanpa izin Kepala Kantor Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penyelundupan dan dikenai sanksi di bidang kepabeanan. |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pembongkaran barang, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), diatur dengan Peraturan Menteri. |
Bagian Ketiga
Pemuatan Barang
Pasal 11
Pemuatan Barang
Pasal 11
(1) | Pemuatan barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) wajib dilakukan di Kawasan Pabean atau dalam hal tertentu dapat dimuat di tempat lain dengan izin Kepala Kantor Pabean. |
(2) | Izin pemuatan di tempat lain oleh Kepala Kantor Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah mendapatkan rekomendasi dari Badan Pengusahaan Kawasan. |
(3) | Pemuatan barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas yang dilakukan di luar Kawasan Pabean tanpa izin Kepala Kantor Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penyelundupan dan dikenai sanksi di bidang kepabeanan. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pemuatan barang, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. |
Bagian Keempat
Penimbunan Barang
Pasal 12
Penimbunan Barang
Pasal 12
(1) | Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), sementara menunggu pengeluarannya dari Kawasan Pabean, dapat ditimbun di Tempat Penimbunan Sementara. |
(2) | Dalam hal tertentu, barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dapat ditimbun di tempat lain yang diperlakukan sama dengan Tempat Penimbunan Sementara. |
(3) | Barang yang telah diberitahukan untuk dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean, Kawasan Bebas lainnya, atau tempat lain dalam Daerah Pabean, sementara menunggu pemuatannya, dapat ditimbun di Tempat Penimbunan Sementara atau tempat lain dengan izin Kepala Kantor Pabean. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai penimbunan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri. |
Bagian Kelima
Pengeluaran Barang
Pasal 13
Pengeluaran Barang
Pasal 13
(1) | Barang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dapat dikeluarkan
dari Kawasan Pabean atau tempat lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 ayat (2) setelah dipenuhinya Kewajiban Pabean untuk:
|
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pengeluaran barang dari kawasan pabean atau tempat lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. |
BAB IV
PEMASUKAN BARANG KE KAWASAN BEBAS
DARI LUAR DAERAH PABEAN DAN PENGELUARAN BARANG
DARI KAWASAN BEBAS KE LUAR DAERAH PABEAN
Bagian Kesatu
Pemasukan Barang ke Kawasan Bebas dari Luar Daerah Pabean
Pasal 14
PEMASUKAN BARANG KE KAWASAN BEBAS
DARI LUAR DAERAH PABEAN DAN PENGELUARAN BARANG
DARI KAWASAN BEBAS KE LUAR DAERAH PABEAN
Bagian Kesatu
Pemasukan Barang ke Kawasan Bebas dari Luar Daerah Pabean
Pasal 14
Pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean diberikan pembebasan bea masuk, pembebasan PPN, tidak dipungut Pajak Penghasilan Pasal 22 Undang-Undang Pajak Penghasilan, dan/atau pembebasan cukai.
Pasal 15
(1) | Barang asal luar Daerah Pabean dapat dikeluarkan dari Kawasan Pabean atau tempat lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) untuk dimasukkan ke Kawasan Bebas setelah diserahkan Pemberitahuan Pabean. |
(2) | Barang yang dibawa oleh penumpang, awak sarana pengangkut, atau pelintas batas dari luar Daerah Pabean ke Kawasan Bebas pada saat kedatangannya wajib diberitahukan kepada pejabat bea dan cukai. |
(3) | Barang yang dimasukkan ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean yang dikirim melalui penyelenggara pos hanya dapat dikeluarkan atas persetujuan pejabat bea dan cukai. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pengeluaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), diatur dengan Peraturan Menteri. |
Bagian Kedua
Pengeluaran Barang dari Kawasan Bebas ke Luar Daerah Pabean
Pasal 16
Pengeluaran Barang dari Kawasan Bebas ke Luar Daerah Pabean
Pasal 16
(1) | Barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean wajib diberitahukan dengan Pemberitahuan Pabean. |
(2) | Dalam hal barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean merupakan barang yang dikenai bea keluar, bea keluar wajib dibayar paling lambat pada saat Pemberitahuan Pabean didaftarkan ke Kantor Pabean. |
(3) | Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperlukan terhadap barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan barang kiriman, sampai dengan batas nilai pabean dan/atau jumlah tertentu. |
(4) | Barang yang telah diberitahukan untuk dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaporkan kepada pejabat bea dan cukai dalam hal pengeluarannya dibatalkan. |
(5) | Pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean yang merupakan barang yang dikenai bea keluar sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai bea keluar. |
(6) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5), diatur dengan Peraturan Menteri. |
BAB V
PEMASUKAN BARANG KE KAWASAN BEBAS
DARI TEMPAT LAIN DALAM DAERAH PABEAN DAN PENGELUARAN BARANG
DARI KAWASAN BEBAS KE TEMPAT LAIN DALAM DAERAH PABEAN
Bagian Kesatu
Pemasukan Barang ke Kawasan Bebas dari
Tempat Lain Dalam Daerah Pabean
Pasal 17
PEMASUKAN BARANG KE KAWASAN BEBAS
DARI TEMPAT LAIN DALAM DAERAH PABEAN DAN PENGELUARAN BARANG
DARI KAWASAN BEBAS KE TEMPAT LAIN DALAM DAERAH PABEAN
Bagian Kesatu
Pemasukan Barang ke Kawasan Bebas dari
Tempat Lain Dalam Daerah Pabean
Pasal 17
(1) | Pemasukan Barang ke Kawasan Bebas dari tempat lain dalam Daerah Pabean melalui pelabuhan atau bandar udara yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), tidak dipungut PPN. |
(2) | Pemasukan barang kena cukai ke Kawasan Bebas dari tempat lain dalam Daerah Pabean melalui pelabuhan atau bandar udara yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), untuk kebutuhan konsumsi penduduk di Kawasan Bebas dapat diberikan pembebasan cukai. |
(3) | Pemasukan Barang ke Kawasan Bebas dari tempat lain dalam Daerah Pabean yang tidak melalui pelabuhan atau bandar udara yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2),dipungut PPN dan/atau cukai. |
(4) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku untuk pemasukan Barang Kena Pajak ke Kawasan Bebas dari tempat lain dalam Daerah Pabean yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang--undangan di bidang perpajakan dibebaskan dari pengenaan PPN. |
(5) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak berlaku untuk pemasukan Barang Kena Pajak ke Kawasan Bebas dari tempat lain dalam Daerah Pabean yang telah dilunasi PPN dengan menggunakan stiker lunas PPN, dan bahan bakar minyak bersubsidi. |
(6) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian pembebasan cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. |
Pasal 18
(1) | Barang asal tempat lain dalam Daerah Pabean dapat dikeluarkan dari Kawasan Pabean atau tempat lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) untuk dimasukkan ke Kawasan Bebas setelah diserahkan Pemberitahuan Pabean. |
(2) | Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperlukan terhadap barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, dan barang kiriman. |
(3) | Pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari tempat lain dalam Daerah Pabean, sepanjang menyangkut pemberian fasilitas tidak dipungut PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), pengawasan dan pengadministrasiannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemasukan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengawasan dan pengadministrasian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur dengan Peraturan Menteri. |
Bagian Kedua
Pengeluaran Barang dari Kawasan Bebas ke
Tempat Lain Dalam Daerah Pabean
Pasal 19
Pengeluaran Barang dari Kawasan Bebas ke
Tempat Lain Dalam Daerah Pabean
Pasal 19
(1) | Barang asal luar Daerah Pabean yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean wajib dilunasi bea masuk, PPN, dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 22 Undang-Undang Pajak Penghasilan. |
(2) | Barang asal Kawasan Bebas dan tempat lain dalam Daerah Pabean yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean, wajib dilunasi PPN. |
(3) | Barang kena cukai hasil produksi pabrik di Kawasan Bebas yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean, wajib dilunasi cukai. |
(4) | Pelunasan PPN atas pengeluaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Orang yang mengeluarkan barang. |
(5) | Barang Kena Cukai untuk kebutuhan konsumsi penduduk di Kawasan Bebas tidak dapat dikeluarkan dari Kawasan Bebas. |
(6) | Pelunasan cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh pengusaha pabrik yang bersangkutan. |
(7) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelunasan PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur dengan Peraturan Menteri. |
(8) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelunasan cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai. |
Pasal 20
(1) | Dikecualikan
dari kewajiban pembayaran PPN sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2), terhadap pengeluaran barang untuk
transaksi tertentu berupa:
|
||||||||||||||||
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan jangka waktu pengeluaran Barang Kena Pajak dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean dan pemasukan kembali Barang Kena Pajak tersebut ke Kawasan Bebas dari tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,diatur dengan Peraturan Menteri. |
Pasal 21
Dikecualikan dari pengenaan PPN atas pengeluaran Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b.
Pasal 22
(1) | Barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean wajib diberitahukan dengan Pemberitahuan Pabean. |
(2) | Barang yang akan dibawa oleh penumpang atau awak sarana pengangkut dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean sebelum keberangkatannya wajib diberitahukan kepada pejabat bea dan cukai. |
(3) | Barang yang dikirim melalui penyelenggara pos hanya dapat dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean atas persetujuan pejabat bea dan cukai. |
(4) | Barang yang telah diberitahukan untuk dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dilaporkan kepada pejabat bea dan cukai dalam hal pengeluarannya dibatalkan. |
(5) | Dalam hal barang yang dibatalkan untuk dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean tidak dilaporkan pembatalan pengeluarannya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang merupakan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), wajib dilunasi bea masuk, PPN, dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 22 Undang-Undang Pajak Penghasilan. |
(6) | Dalam hal barang yang dibatalkan untuk dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean tidak dilaporkan pembatalan pengeluarannya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang merupakan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) wajib dilunasi PPN. |
(7) | Dalam hal barang kena cukai yang dibatalkan untuk dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean tidak dilaporkan pembatalan pengeluarannya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang merupakan barang kena cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3),wajib dilunasi cukai. |
(8) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean, diatur dengan Peraturan Menteri. |
BAB VI
PEMASUKAN BARANG KE KAWASAN BEBAS DARI KAWASAN BEBAS
LAINNYA DAN PENGELUARAN BARANG DARI KAWASAN BEBAS KE
KAWASAN BEBAS LAINNYA
Bagian Kesatu
Pemasukan Barang ke Kawasan Bebas dari Kawasan Bebas Lainnya
Pasal 23
PEMASUKAN BARANG KE KAWASAN BEBAS DARI KAWASAN BEBAS
LAINNYA DAN PENGELUARAN BARANG DARI KAWASAN BEBAS KE
KAWASAN BEBAS LAINNYA
Bagian Kesatu
Pemasukan Barang ke Kawasan Bebas dari Kawasan Bebas Lainnya
Pasal 23
Pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari Kawasan Bebas lainnya diberikan pembebasan bea masuk, pembebasan PPN, tidak dipungut Pajak Penghasilan Pasal 22 Undang-Undang Pajak Penghasilan, dan/atau pembebasan cukai.
Pasal 24
(1) | Barang asal Kawasan Bebas lainnya dapat dikeluarkan dari Kawasan Pabean atau tempat lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) untuk dimasukkan ke Kawasan Bebas setelah diserahkan Pemberitahuan Pabean. |
(2) | Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperlukan terhadap barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, dan barang kiriman. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasukan barang dari Kawasan Bebas lainnya ke Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Menteri. |
Bagian Kedua
Pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke Kawasan Bebas lainnya
Pasal 25
Pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke Kawasan Bebas lainnya
Pasal 25
Pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke Kawasan Bebas lainnya diberikan pembebasan bea masuk, pembebasan PPN, tidak dipungut Pajak Penghasilan Pasal 22 Undang-Undang Pajak Penghasilan, dan/atau pembebasan cukai.
Pasal 26
(1) | Barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke Kawasan Bebas lainnya wajib diberitahukan dengan Pemberitahuan Pabean. |
(2) | Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperlukan terhadap barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, dan barang kiriman. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke Kawasan Bebas lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Menteri. |
BAB VII
PEMASUKAN BARANG KE KAWASAN BEBAS DARI TEMPAT PENIMBUNAN
BERIKAT ATAU KAWASAN EKONOMI KHUSUS DAN PENGELUARAN BARANG
DARI KAWASAN BEBAS KE TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT ATAU
KAWASAN EKONOMI KHUSUS
Bagian Kesatu
Pemasukan Barang ke Kawasan Bebas dari Tempat Penimbunan Berikat atau
Kawasan Ekonomi Khusus
Pasal 27
PEMASUKAN BARANG KE KAWASAN BEBAS DARI TEMPAT PENIMBUNAN
BERIKAT ATAU KAWASAN EKONOMI KHUSUS DAN PENGELUARAN BARANG
DARI KAWASAN BEBAS KE TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT ATAU
KAWASAN EKONOMI KHUSUS
Bagian Kesatu
Pemasukan Barang ke Kawasan Bebas dari Tempat Penimbunan Berikat atau
Kawasan Ekonomi Khusus
Pasal 27
Pemasukan Barang ke Kawasan Bebas dari Tempat Penimbunan Berikat atau Kawasan Ekonomi Khusus diberikan pembebasan bea masuk, tidak dipungut PPN, tidak dipungut Pajak Penghasilan Pasal 22 Undang-Undang Pajak Penghasilan, dan/atau pembebasan cukai.
Pasal 28
(1) | Barang asal Tempat Penimbunan Berikat atau Kawasan Ekonomi Khusus dapat dikeluarkan dari Kawasan Pabean atau tempat lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) untuk dimasukkan ke Kawasan Bebas setelah diserahkan Pemberitahuan Pabean. |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pengeluaran barang asal Tempat Penimbunan Berikat atau Kawasan Ekonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Menteri. |
Bagian Kedua
Pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke Tempat Penimbunan Berikat atau
Kawasan Ekonomi Khusus
Pasal 29
Pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke Tempat Penimbunan Berikat atau
Kawasan Ekonomi Khusus
Pasal 29
(1) | Pengeluaran
barang dari Kawasan Bebas ke Tempat Penimbunan Berikat, dilakukan
dengan ketentuan:
|
(2) | Pengeluaran
barang dari Kawasan Bebas ke Kawasan Ekonomi Khusus, dilakukan dengan
ketentuan:
|
Pasal 30
(1) | Barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke Tempat Penimbunan Berikat atau Kawasan Ekonomi Khusus wajib diberitahukan dengan Pemberitahuan Pabean. |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke Tempat Penimbunan Berikat atau Kawasan Ekonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Menteri. |
BAB VIII
PEMBERITAHUAN PABEAN
Pasal 31
PEMBERITAHUAN PABEAN
Pasal 31
(1) | Pemberitahuan Pabean dapat disampaikan dalam bentuk tulisan di atas formulir atau dalam bentuk data elektronik. |
(2) | Tulisan di atas formulir atau data elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan alat bukti yang sah menurut Undang-Undang Kepabeanan. |
(3) | Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian Pemberitahuan Pabean yang
meliputi:
|
Pasal 32
(1) | Pengurusan
Pemberitahuan Pabean wajib dilakukan oleh:
|
(2) | Pengurusan Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dapat dikuasakan kepada pengusaha pengurusan jasa kepabeanan. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengurusan Pemberitahuan Pabean diatur dengan Peraturan Menteri. |
BAB IX
PERLAKUAN PPN ATAS PENYERAHAN ATAU PEROLEHAN/PEMANFAATAN
BARANG KENA PAJAK TIDAK BERWUJUD DAN PENYERAHAN/PEROLEHAN
JASA KENA PAJAK
Pasal 33
PERLAKUAN PPN ATAS PENYERAHAN ATAU PEROLEHAN/PEMANFAATAN
BARANG KENA PAJAK TIDAK BERWUJUD DAN PENYERAHAN/PEROLEHAN
JASA KENA PAJAK
Pasal 33
(1) | Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Kawasan Bebas, dibebaskan dari pengenaan PPN. |
(2) | Penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak di dalam Kawasan Bebas, dibebaskan dari pengenaan PPN. |
(3) | Penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Kawasan Bebas ke Kawasan Bebas lainnya, dibebaskan dari pengenaan PPN. |
(4) | Penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean, dikenai PPN. |
(5) | Dikecualikan dari pengenaan PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (4), untuk penyerahan Jasa Kena Pajak yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dibebaskan dari pengenaan PPN. |
(6) | Penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas, tidak dipungut PPN. |
(7) | Penyerahan Jasa Kena Pajak dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas yang penyerahannya dilakukan di tempat lain dalam Daerah Pabean, dipungut PPN. |
(8) | Penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas, tidak dipungut PPN. |
(9) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (8) juga berlaku untuk penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dibebaskan dari pengenaan PPN. |
(10) | Penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak tertentu dari Tempat Penimbunan Berikat atau Kawasan Ekonomi Khusus ke Kawasan Bebas, tidak dipungut PPN. |
(11) | Penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Kawasan Bebas ke Tempat Penimbunan Berikat atau Kawasan Ekonomi Khusus, dipungut PPN. |
(12) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelunasan PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ayat (7), ayat (11), dan jenis Jasa Kena Pajak tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan ayat (10) diatur dengan Peraturan Menteri. |
Pasal 34
(1) | Atas penyerahan jasa angkutan udara di dalam Kawasan Bebas, dibebaskan dari pengenaan PPN. |
(2) | Atas penyerahan jasa angkutan udara dalam negeri dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas, dikenai PPN. |
(3) | Atas penyerahan jasa angkutan udara dalam negeri dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean dikenai PPN. |
Pasal 35
(1) | Atas penyerahan jasa telekomunikasi di dalam Kawasan Bebas, dibebaskan dari pengenaan PPN. |
(2) | Atas penyerahan jasa telekomunikasi dari tempat lain dalam Daerah Pabean atau Tempat Penimbunan Berikat ke Kawasan Bebas, dikenai PPN. |
(3) | Atas penyerahan jasa telekomunikasi dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean atau Tempat Penimbunan Berikat, dikenai PPN. |
(4) | Dikecualikan dari ketentuan pengenaan PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (2), atas penyerahan jasa telekomunikasi dengan menggunakan jaringan berkabel di Kawasan Bebas. |
BAB X
KETENTUAN LARANGAN DAN PEMBATASAN
Pasal 36
KETENTUAN LARANGAN DAN PEMBATASAN
Pasal 36
(1) | Barang-barang
yang terkena ketentuan larangan, dilarang:
|
(2) | Ketentuan
pembatasan hanya dapat diberlakukan atas:
|
(3) | Instansi teknis menetapkan secara khusus ketentuan pembatasan yang diberlakukan atas pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a. |
(4) | Instansi
teknis yang menetapkan:
|
(5) | Dalam hal pada saat pemasukan barang tersebut ke Kawasan Bebas tidak diberlakukan atau mendapatkan pengecualian dari ketentuan larangan dan/atau pembatasan, pengeluaran barang asal luar Daerah Pabean dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean wajib memenuhi ketentuan larangan dan/atau pembatasan yang ditetapkan oleh instansi teknis. |
(6) | Untuk kemudahan pelayanan terhadap pemberlakuan ketentuan pembatasan dari instansi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), instansi teknis dapat melimpahkan kewenangannya kepada Badan Pengusahaan Kawasan. |
(7) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengawasan barang-barang yang dilarang dan/atau dibatasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri. |
Pasal 37
(1) | Semua
barang yang dilarang atau dibatasi yang tidak memenuhi syarat
untuk dimasukkan dari luar Daerah Pabean ke Kawasan Bebas, atau
dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean atau dari Kawasan
Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean, jika telah diberitahukan
dengan Pemberitahuan Pabean, atas permintaan pengusaha yang telah
mendapat izin usaha dari Badan Pengusahaan Kawasan:
|
(2) | Barang
yang dilarang atau dibatasi untuk:
|
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengawasan dan penatausahaan barang-barang yang dilarang dan/atau dibatasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Peraturan Menteri. |
BAB XI
SANKSI ADMINISTRASI BERUPA DENDA
Pasal 38
SANKSI ADMINISTRASI BERUPA DENDA
Pasal 38
(1) | Pengangkut yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). |
(2) | Pengangkut yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4), ayat (5), atau ayat (7), dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). |
(3) | Pengangkut yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). |
(4) | Pengangkut yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), tetapi jumlah barang yang dibongkar kurang dari yang diberitahukan dalam Pemberitahuan Pabean dan tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut terjadi di luar kemampuannya, wajib membayar bea masuk atas barang yang kurang dibongkar dan dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh jutarupiah). |
(5) | Pengangkut yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), tetapi jumlah barang yang dibongkar lebih banyak dari yang diberitahukan dalam Pemberitahuan Pabean dan tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut terjadi di luar kemampuannya, dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). |
(6) | Orang yang mengeluarkan barang dari Kawasan Pabean atau tempat lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) setelah memenuhi semua ketentuan tetapi belum mendapat persetujuan pengeluaran dari pejabat bea dan cukai, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah). |
(7) | Pengusaha yang tidak melaporkan pembatalan pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4), dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah). |
BAB XII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 39
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 39
Pejabat bea dan cukai untuk mengamankan hak negara, dalam melaksanakan tugas berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan lain yang pelaksanaannya dibebankan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memiliki kewenangan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan cukai.
Pasal 40
(1) | Pemasukan barang dari luar Daerah Pabean ke Kawasan Bebas dicatat sebagai impor. |
(2) | Pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean dicatat sebagai ekspor. |
Pasal 41
Ketentuan lainnya yang berkaitan dengan pemasukan barang ke Kawasan Bebas atau pengeluaran barang dari Kawasan Bebas dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Kepabeanan.
Pasal 42
Ketentuan mengenai sanksi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan, cukai, dan perpajakan tetap berlaku di Kawasan Bebas.
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 43
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 43
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2009 tentang Perlakuan Kepabeanan, Perpajakan, dan Cukai serta Pengawasan atas Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari serta Berada di Kawasan yang telah Ditunjuk sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4970), tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diatur dengan peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 44
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2009 tentang Perlakuan Kepabeanan, Perpajakan, dan Cukai serta Pengawasan atas Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari serta Berada di Kawasan yang telah Ditunjuk sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4970), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 45
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku setelah 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 9 Januari 2012
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
pada tanggal 9 Januari 2012
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 9 Januari 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK
INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 17
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 10 TAHUN 2012
TENTANG
PERLAKUAN KEPABEANAN, PERPAJAKAN, DAN CUKAI SERTA TATA
LAKSANA PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BARANG KE DAN DARI SERTA
BERADA DI KAWASAN YANG TELAH DITETAPKAN SEBAGAI KAWASAN
PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 10 TAHUN 2012
TENTANG
PERLAKUAN KEPABEANAN, PERPAJAKAN, DAN CUKAI SERTA TATA
LAKSANA PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BARANG KE DAN DARI SERTA
BERADA DI KAWASAN YANG TELAH DITETAPKAN SEBAGAI KAWASAN
PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS
I. | UMUM Dalam rangka mendorong kegiatan lalu lintas perdagangan internasional yang mendatangkan devisa bagi negara dan dalam rangka meningkatkan penanaman modal baik asing maupun dalam negeri serta memperluas lapangan kerja, telah diatur pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang-Undang menjadi Undang-Undang. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas merupakan suatu kawasan dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari Daerah Pabean sehingga sepanjang menyangkut bea masuk, cukai, PPN diperlakukan sama dengan di luar Daerah Pabean yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Untuk mewujudkan tujuan pembentukan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, diperlukan pengaturan mengenai perlakuan perpajakan termasuk pemberian fasilitas PPN dan PPnBM dalam kerangka Pasal 16B Undang-Undang Nomor Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan pemasukan atau pengeluaran barang ke dan dari serta berada di kawasan yang telah ditunjuk sebagai daerah perdagangan bebas dan/atau pelabuhan bebas. Pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean diberlakukan semua ketentuan umum di bidang impor dan pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean diberlakukan semua ketentuan umum di bidang ekspor. Atas pemasukan barang dari luar Daerah Pabean ke Kawasan Bebas dan pemasukan dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas berlaku seluruh ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
II. | PASAL
DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas.
Pasal 2 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Untuk keperluan
pelayanan,
pengawasan, kelancaran lalulintas barang serta ketertiban bongkar muat
barang, dan pengamanan keuangan negara, berdasarkan Undang-Undang
Kepabeanan perlu ditetapkan adanya suatu kawasan di pelabuhan laut,
bandar udara, atau tempat lain sebagai Kawasan Pabean yang sepenuhnya
berada dibawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Demikian pula penunjukan Pos Pengawasan Pabean dimaksudkan untuk tempat Pejabat Bea dan Cukai melakukan pengawasan. Pos tersebut merupakan bagian dari Kantor Pabean dan di tempat tersebut tidak dapat dipenuhi Kewajiban Pabean. Ayat (5) Untuk menjaga agar
semua barang
yang dimasukkan ke atau yang dikeluarkan dari Kawasan Bebas memenuhi
ketentuan yang telah ditetapkan, pemenuhan Kewajiban Pabean ditetapkan
hanya dapat dilakukan di Kantor Pabean.
Penegasan bahwa pemenuhan Kewajiban Pabean dilakukan di Kantor Pabean maksudnya yaitu jika kedapatan barang dibongkar atau dimuat di suatu tempat yang tidak ditunjuk sebagai Kantor Pabean berarti terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Peraturan Pemerintah ini. Ayat (6) Cukup jelas.
Pasal 3 Ayat (1)
Izin usaha dari
Badan Pengusahaan
Kawasan diterbitkan dengan mempertimbangkan eksistensi perusahaan,
identitas pengurus dan penanggung jawab, jenis usaha dan kepastian
penyelenggaraan pembukuan.
Ayat (2) Yang dimaksud
“berhubungan
dengan kegiatan usaha” adalah aktivitas atau pekerjaan yang
dilakukan untuk mencapai suatu maksud dimana semua kebutuhan yang
diperlukan memiliki keterkaitan dengan aktivitas atau pekerjaan
tersebut.
Ayat (3) Yang dimaksud
“barang
konsumsi” adalah barang yang dapat digunakan langsung untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat tanpa proses lebih lanjut.
Pengawasan terhadap jumlah dan jenis barang konsumsi yang dimasukkan ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean yang telah ditetapkan oleh Badan Pengusahaan Kawasan dilakukan setelah proses pemasukan selesai dilaksanakan. Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Huruf a
Yang dimaksud dengan
“barang perwakilan negara asing beserta para
pejabatnya”
adalah barang milik atau untuk keperluan perwakilan negara asing
tersebut, termasuk pejabat pemegang paspor diplomatik dan keluarganya
di Indonesia.
Huruf b Yang dimaksud dengan
“barang untuk keperluan badan internasional beserta
pejabatnya” adalah barang yang merupakan milik atau untuk
keperluan badan internasional yang diakui dan terdaftar pada Pemerintah
Indonesia, termasuk para pejabatnya yang ditugaskan di Indonesia, namun
tidak termasuk pejabat badan internasional yang memegang paspor
Indonesia.
Huruf c Yang dimaksud
“barang
keperluan ibadah untuk umum” adalah barang yang semata-mata
digunakan untuk keperluan ibadah dari setiap agama yang diakui
diIndonesia.
Yang dimaksud dengan
“barang keperluan amal sosial” adalah barang yang
semata-mata ditujukan untuk keperluan amal sosial dan tidak mengandung
unsur komersial, seperti bantuan untuk bencana alam atau pemberantasan
wabah penyakit.
Yang dimaksud dengan “barang untuk keperluan kebudayaan” adalah barang yang ditujukan untuk meningkatkan hubungan kebudayaan antar negara. Huruf d
Yang dimaksud dengan
“barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu
pengetahuan” adalah barang atau peralatan yang digunakan
untuk
melakukan penelitian/riset atau percobaan guna peningkatan atau
pengembangan suatu penemuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi
serta tidak mengandung unsur komersial.
Huruf e Cukup jelas.
Huruf f Yang dimaksud dengan
”barang contoh” adalah barang yang diimpor khusus
sebagai
contoh, antara lain untuk keperluan produksi (prototype) dan pameran
dalam jumlah dan jenis yang terbatas, baik tipe maupun merek.
Huruf g Cukup jelas.
Huruf h Yang dimaksud
“barang
pindahan” yaitu barang keperluan rumah tangga milik orang
yang
semula berdomisili di luar Daerah Pabean, Kawasan Bebas lainnya, atau
tempat lain dalam Daerah Pabean, kemudian dibawa pindah ke Kawasan
Bebas atau sebaliknya;
Huruf i Yang dimaksud dengan
“barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, dan
pelintas
batas” adalah semua barang yang dibawa oleh penumpang, awak
sarana pengangkut, dan pelintas batas tetapi tidak termasuk barang
dagangan.
Yang dimaksud dengan “awak sarana pengangkut” adalah setiap orang yang karena sifat pekerjaannya harus berada dalam sarana pengangkut dan datang bersama sarana pengangkut. Yang dimaksud dengan “pelintas batas” adalah penduduk yang berdiam atau bertempat tinggal dalam wilayah perbatasan negara serta memiliki kartu identitas yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang dan yang melakukan perjalanan lintas batas di daerah perbatasan negara melalui pos pengawas lintas batas. Yang dimaksud dengan “penumpang” adalah setiap orang yang melintasi perbatasan wilayah Kawasan Bebas dengan menggunakan sarana pengangkut tetapi bukan Awak Sarana Pengangkut dan bukan Pelintas Batas. Yang dimaksud dengan “barang dagangan” adalah barang yang menurut jenis, sifat dan jumlahnya tidak wajar untuk keperluan pribadi, diimpor untuk diperjualbelikan, barang contoh, barang yang akan digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong untuk industri, dan/atau barang yang akan digunakan untuk tujuan selain pemakaian pribadi. Yang dimaksud dengan “barang kiriman” adalah barang yang dikirim melalui penyelenggara pos sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pos. Huruf j Cukup jelas.
Huruf k
Yang dimaksud
dengan “bahan terapi manusia, pengelompokan darah, dan bahan
penjenisan jaringan” adalah:
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Yang dimaksud dengan
“kepentingan umum” adalah kepentingan masyarakat
yang tidak
mengutamakan kepentingan di bidang keuangan, misalnya proyek pemasangan
lampu jalan umum.
Huruf n Cukup jelas.
Huruf o Cukup jelas.
Huruf p Cukup jelas.
Huruf q Cukup jelas.
Pasal 4 Cukup jelas.
Pasal 5 Cukup jelas.
Pasal 6 Ayat (1)
Dalam rangka
mendorong kegiatan
lalu lintas perdagangan internasional yang mendatangkan devisa bagi
Negara, diperlukan suatu kecepatan dan kepastian bagi pengusaha. Dengan
demikian, pemeriksaan pabean dalam bentuk pemeriksaan fisik atas
barang yang dimasukkan ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean,
Kawasan Bebas lain, atau Tempat Penimbunan Berikat harus diupayakan
seminimal mungkin sehingga hanya dilakukan penelitian terhadap
dokumennya.
Ayat (2) Yang dimaksud
“hal tertentu” antara lain terdapat informasi
intelijen atau terkena pemeriksaan acak.
Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 7 Ayat (1)
Dalam rangka
mendorong ekspor,
terutama dalam kaitannya dengan upaya untuk meningkatkan daya saing
barang ekspor Indonesia di pasar dunia, serta untuk memperlancar
kegiatan lalu lintas barang dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean,
Kawasan Bebas lain, Tempat Penimbunan Berikat, atau Kawasan Ekonomi
Khusus diperlukan suatu kecepatan dan kepastian bagi pengusaha.
Dengan demikian, pemeriksaan pabean dalam bentuk pemeriksaan fisik atas barang yang dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean, Kawasan Bebas lain, Tempat Penimbunan Berikat, atau Kawasan Ekonomi Khusus harus diupayakan seminimal mungkin sehingga hanya dilakukan penelitian terhadap dokumennya. Ayat (2)
Yang dimaksud
“hal
tertentu” antara lain barang yang dikenai bea keluar,
berdasarkan
informasi dari Direktorat JenderalPajak, atau terdapat informasi
intelijen.
Ayat (3) Untuk memperoleh
data dan
penilaian yang tepat mengenai Pemberitahuan Pabean yang disampaikan
terhadap barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain
dalam Daerah Pabean dilakukan pemeriksaan pabean dalam bentuk
penelitian terhadap dokumen dan pemeriksaan atas fisik barang.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Dalam rangka
memperlancar arus
barang, pemeriksaan atas fisik barang dilakukan secara selektif dalam
arti pemeriksaan barang hanya dilakukan terhadap pengeluaran barang
dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean dengan kriteria
tertentu, antara lain barang yang berasal dari luar Daerah Pabean atau
beresiko tinggi.
Ayat (6) Cukup jelas.
Pasal 8 Ayat (1)
Ketentuan ini
mengatur kewajiban
bagi pengangkut untuk memberitahukan rencana kedatangan sarana
pengangkutnya sebelum sarana pengangkut tiba di Kawasan Pabean, baik
terhadap sarana pengangkut yang melakukan kegiatannya secara regular
(liner) maupun sarana pengangkut yang tidak secara teratur berada di
Kawasan Pabean (tramper). Hal ini dimaksudkan untuk lebih meningkatkan
pengawasan pabean.
Yang dimaksud dengan “kedatangan sarana pengangkut” adalah: a. saat lego jangkar di perairan pelabuhan untuk sarana pengangkut melalui laut; b. saat mendarat di landasan bandar udara untuk sarana pengangkut melalui udara. Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) Yang dimaksud dengan
“manifes” adalah daftar barang niaga yang dimuat
dalam sarana pengangkut.
Ayat (4) Pemberitahuan Pabean
pada ayat ini berisi informasi tentang semua barang niaga yang diangkut
dengan sarana pengangkut.
Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6) Ketentuan mengenai
berlabuh pada
ayat ini dihitung sejak kedatangan sarana pengangkut sebagaimana
dimaksud pada penjelasan ayat (1).
Ayat (7)
Pada dasarnya barang
hanya dapat
dibongkar setelah diajukan Pemberitahuan Pabean tentang kedatangan
sarana pengangkut. Akan tetapi, jika sarana pengangkut mengalami
keadaan darurat seperti mengalami kebakaran, kerusakan mesin yang tidak
dapat diperbaiki, terjebak dalam cuaca buruk, atau hal lain yang
terjadi di luar kemampuan manusia dapat diadakan pengecualian dengan
melakukan pembongkaran tanpa memberitahukan terlebih dahulu tentang
kedatangan sarana pengangkut.
Huruf a Melaporkan keadaan
darurat
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini dapat dilakukan dengan
menggunakan radio panggil, telepon, atau faksimile.
Yang dimaksud dengan “Kantor Pabean terdekat” yaitu Kantor Pabean yang paling mudah dicapai. Huruf b Cukup jelas.
Pasal 9 Cukup jelas.
Pasal 10 Ayat (1)
Tempat lain yang
telah
mendapatkan izin dari Kepala Kantor Pabean sebagai tempat pembongkaran
yang bersifat insidentil juga merupakan Kawasan Pabean sampai dengan
kewajiban pabean diselesaikan.
Ayat (2)
Pembongkaran di
tempat lain
dilakukan dengan memperhatikan teknis pembongkaran atau sebab lain atas
pertimbangan Kepala Kantor Pabean, misalnya sarana pengangkut tidak
dapat sandar di dermaga atau alat bongkar tidak tersedia.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Yang dimaksud dengan
“sanksi di bidang kepabeanan” adalah sanksi
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 102 Undang-Undang Kepabeanan.
Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 11 Ayat (1)
Pasal 12Tempat lain yang
telah
mendapatkan izin dari Kepala Kantor Pabean sebagai tempat pemuatan yang
bersifat insidentil juga merupakan Kawasan Pabean sampai dengan
kewajiban pabean diselesaikan.
Ayat (2) Pemuatan di tempat
lain dilakukan
dengan memperhatikan teknis pemuatan atau sebab lain atas pertimbangan
Kepala Kantor Pabean, misalnya sarana pengangkut tidak dapat sandar di
dermaga atau alat muat tidak tersedia.
Ayat (3) Yang dimaksud dengan
“sanksi di bidang kepabeanan” adalah sanksi
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 102A Undang-Undang Kepabeanan.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (1)
Ketentuan ini
dimaksudkan bahwa
penimbunan barang di tempat penimbunan sementara bukan merupakan
keharusan karena penimbunan tersebut hanya dilakukan dalam hal barang
tidak dapat dikeluarkan dengan segera.
Ayat (2) Yang dimaksud dalam
hal tertentu
yaitu apabila penimbunan di tempat penimbunan sementara tidak dapat
dilakukan seperti kongesti, kendala teknis penimbunan, sifat barang,
atau sebab lain sehingga tidak memungkinkan barang impor ditimbun.
Termasuk dalam pengertian ini yaitu pemberian fasilitas penimbunan selain di tempat penimbunan sementara dengan tujuan untuk menghindari beban biaya penumpukan yang mungkin atau yang telah timbul selama dalam proses pemenuhan kewajiban pabean. Ketentuan yang berlaku pada tempat penimbunan sementara berlaku di tempat lain yang dimaksud pada ayat ini. Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 13 Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b Yang dimaksud
dengan
“barang diangkut terus” adalah barang yang diangkut
dengan
sarana pengangkut melalui kantor pabean tanpa dilakukan pembongkaran
terlebih dulu menuju pelabuhan tujuan akhir pengangkutan barang (port
of destination).
Yang dimaksud dengan “barang diangkut lanjut” adalah barang yang diangkut dengan sarana pengangkut melalui kantor pabean dengan dilakukan pembongkaran terlebih dulu menuju pelabuhan tujuan akhir pengangkutan barang (port of destination). Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d Yang dimaksud
dengan
”dikeluarkan kembali” antara lain pengiriman
kembali barang
asal luar Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean karena ternyata tidak
sesuai dengan yang dipesan atau oleh karena suatu ketentuan baru dari
pemerintah tidak boleh dimasukkan ke Kawasan Bebas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 14 Termasuk dalam
pengertian bea
masuk adalah bea masuk anti dumping, bea masuk imbalan, bea masuk
tindakan pengamanan, dan bea masuk pembalasan.
Yang dimaksud “pembebasan bea masuk” adalah peniadaan kewajiban membayar bea masuk yang terutang. Pasal 15 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan
“pelintas batas” adalah penduduk yang berdiam atau
bertempat tinggal dalam wilayah perbatasan negara serta memiliki kartu
identitas yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang dan yang
melakukan perjalanan lintas batas di daerah perbatasan melalui pos
pengawas lintas batas.
Yang dimaksud dengan “awak sarana pengangkut” adalah setiap orang yang karena sifat pekerjaannya harus berada dalam sarana pengangkut dan datang bersama sarana pengangkut. Yang dimaksud dengan “penumpang” adalah setiap orang yang melintasi perbatasan Kawasan Bebas dengan menggunakan sarana pengangkut, tetapi bukan awak sarana pengangkut dan bukan pelintas batas. Yang dimaksud dengan “diberitahukan” adalah menyampaikan pemberitahuan secara lisan atau tertulis. Ayat (3)
Yang dimaksud
“penyelenggara pos” adalah suatu badan usaha yang
menyelenggarakan pos sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai pos. Penyelenggara pos
sebelumnya dikenal dengan pos atau jasa titipan.
Yang dimaksud dengan “persetujuan pejabat bea dan cukai” adalah penetapan pejabat bea dan cukai yang menyatakan bahwa barang tersebut telah dipenuhi Kewajiban Pabean berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan. Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 16 Ayat (1)
Pemberitahuan Pabean
dimaksudkan
sebagai sarana untuk melakukan pengawasan terhadap barang yang akan
dikeluarkan dari Daerah Pabean.
Ayat (2) Pengenaan bea keluar
dimaksudkan
untuk melindungi kepentingan nasional, bukan untuk membebani daya saing
komoditi ekspor di pasar internasional.
Ayat (3) Yang dimaksud dengan
“pelintas batas” adalah penduduk yang berdiam atau
bertempat tinggal dalam wilayah perbatasan negara serta memiliki kartu
identitas yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang dan yang
melakukan perjalanan lintas batas di daerah perbatasan melalui pos
pengawas lintas batas.
Yang dimaksud dengan “awak sarana pengangkut” adalah setiap orang yang karena sifat pekerjaannya harus berada dalam sarana pengangkut dan datang bersama sarana pengangkut. Yang dimaksud dengan “penumpang” adalah setiap orang yang melintasi perbatasan Kawasan Bebas dengan menggunakan sarana pengangkut, tetapi bukan awak sarana pengangkut dan bukan pelintas batas. Yang dimaksud dengan “diberitahukan” adalah menyampaikan pemberitahuan secara lisan atau tertulis. Yang dimaksud dengan “barang kiriman” adalah barang yang dikirim melalui penyelenggara pos sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pos. Ayat (4) Yang dimaksud dengan
“dibatalkan” yaitu dibatalkan seluruhnya atau
sebagian.
Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 17 Ayat (1)
Fasilitas PPN tidak
dipungut
hanya diberikan apabila Barang Kena Pajak tersebut benar-benar telah
masuk di Kawasan Bebas melalui pelabuhan atau bandar udara yang
ditunjuk dan dibuktikan dengan dokumen kepabeanan yang telah
diendorse/disetujui oleh pejabat Direktorat Jenderal Pajak.
Yang dimaksud dengan “tempat lain dalam Daerah Pabean” adalah Daerah Pabean selain Kawasan Bebas. Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6) Cukup jelas.
Pasal 18 Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2) Yang dimaksud dengan
“awak
sarana pengangkut” adalah setiap orang yang karena sifat
pekerjaannya harus berada dalam sarana pengangkut dan datang bersama
sarana pengangkut.
Yang dimaksud dengan “penumpang” adalah setiap orang yang melintasi perbatasan Kawasan Bebas dengan menggunakan sarana pengangkut, tetapi bukan awak sarana pengangkut dan bukan pelintas batas. Yang dimaksud dengan “diberitahukan” adalah menyampaikan pemberitahuan secara lisan atau tertulis. Yang dimaksud dengan “barang kiriman” adalah barang yang dikirim melalui penyelenggara pos sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pos. Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 19 Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4)
PPN yang terutang
wajib dilunasi oleh Orang yang mengeluarkan barang, sebelum barang
dikeluarkan dari Kawasan Bebas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6) Cukup jelas.
Ayat (7) Cukup jelas.
Ayat (8) Cukup jelas.
Pasal 20 Cukup jelas.
Pasal 21 Cukup jelas.
Pasal 22 Ayat (1)
Pemberitahuan Pabean
dimaksudkan
agar kewajiban pembayaran bea masuk, PPN, cukai, dan Pajak Penghasilan
Pasal 22 Undang-Undang Pajak Penghasilan serta ketentuan larangan dan
pembatasan atas barang asal luar Daerah Pabean telah dipenuhi sebelum
keluar dari Kawasan Bebas menuju tempat lain dalam Daerah Pabean.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan
“awak
sarana pengangkut” adalah setiap orang yang karena sifat
pekerjaannya harus berada dalam sarana pengangkut dan datang bersama
sarana pengangkut.
Yang dimaksud dengan “penumpang” adalah setiap orang yang melintasi perbatasan wilayah Kawasan Bebas dengan menggunakan sarana pengangkut, tetapi bukan awak sarana pengangkut dan bukan pelintas batas. Ayat (3)
Yang dimaksud
“penyelenggara pos” adalah suatu badan usaha yang
menyelenggarakan pos sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai pos. Penyelenggaran pos
sebelumnya dikenal dengan pos atau jasa titipan.
Ayat (4) Yang dimaksud dengan
“dibatalkan” yaitu dibatalkan seluruhnya atau
sebagian.
Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6) Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8) Cukup jelas.
Pasal 23 Termasuk dalam
pengertian bea
masuk adalah bea masuk anti dumping, bea masuk imbalan, bea masuk
tindakan pengamanan, dan bea masuk pembalasan.
Pasal 24 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) Yang dimaksud dengan
“awak
sarana pengangkut” adalah setiap orang yang karena sifat
pekerjaannya harus berada dalam sarana pengangkut dan datang bersama
sarana pengangkut.
Yang dimaksud dengan “penumpang” adalah setiap orang yang melintasi perbatasan wilayah Kawasan Bebas dengan menggunakan sarana pengangkut, tetapi bukan awak sarana pengangkut dan bukan pelintas batas. Yang dimaksud dengan “barang kiriman” adalah barang yang dikirim melalui penyelenggara pos sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pos. Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 25 Termasuk dalam
pengertian bea
masuk adalah bea masuk anti dumping, bea masuk imbalan, bea masuk
tindakan pengamanan, dan bea masuk pembalasan.
Pasal 26 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) Yang dimaksud dengan
“awak
sarana pengangkut” adalah setiap orang yang karena sifat
pekerjaannya harus berada dalam sarana pengangkut dan datang bersama
sarana pengangkut.
Yang dimaksud dengan “penumpang” adalah setiap orang yang melintasi perbatasan wilayah Kawasan Bebas dengan menggunakan sarana pengangkut, tetapi bukan awak sarana pengangkut dan bukan pelintas batas. Yang dimaksud dengan “barang kiriman” adalah barang yang dikirim melalui penyelenggara pos sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pos. Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 27 Termasuk dalam
pengertian bea
masuk adalah bea masuk anti dumping, bea masuk imbalan, bea masuk
tindakan pengamanan, dan bea masuk pembalasan.
Yang dimaksud dengan “Kawasan Ekonomi Khusus” adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu. Pasal 28 Cukup jelas.
Pasal 29 Cukup jelas.
Pasal 30 Cukup jelas.
Pasal 31 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan
“data
elektronik (softcopy)” adalah informasi atau rangkaian
informasi
yang disusun dan/atau dihimpun untuk kegunaan khusus yang diterima,
direkam, dikirim, disimpan, diproses, diambil kembali, atau diproduksi
secara elektronik dengan menggunakan komputer atau perangkat pengolah
data elektronik, optikal, atau cara lain yang sejenis.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 32 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) Pada dasarnya
Undang-Undang
Kepabeanan menganut prinsip bahwa semua pemilik barang dapat
menyelesaikan Kewajiban Pabean. Mengingat tidak semua pemilik barang
mengetahui atau menguasai ketentuan tata laksana kepabeanan atau karena
suatu hal tidak dapat menyelesaikan sendiri Kewajiban Pabean, ayat ini
memberi kemungkinan pemberian kuasa penyelesaian kewajiban pabean
kepada pengusaha pengurusan jasa kepabeanan yang terdaftar di Kantor
Pabean.
Pengusaha semacam ini sebelumnya telah ada dan di dalam praktik sehari-hari dikenal dengan nama Ekspedisi Muatan Kapal Laut (EMKL), Ekspedisi Muatan Kapal Udara atau Ekspedisi Muatan Pesawat Udara (EMKU/EMPU), atau pengusaha jasa transportasi. Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 33 Cukup jelas.
Pasal 34 Cukup jelas.
Pasal 35 Cukup jelas.
Pasal 36 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) Pada prinsipnya
pemasukan barang
ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean tidak diberlakukan ketentuan
pembatasan yang dapat menghambat perdagangan internasional. Namun untuk
kepentingan perlindungan kepada konsumen yang tinggal di Kawasan Bebas,
terhadap barang-barang yang dimasukkan ke Kawasan Bebas dari luar
Daerah Pabean yang ditujukan akan diedarkan di Kawasan Bebas, ketentuan
pembatasan dapat diberlakukan.
Ketentuan pembatasan atas pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean juga dapat diberlakukan apabila terkait dengan kewajiban negara untuk menjamin kesehatan, keamanan, dan lingkungan hidup. Ayat (3)
Instansi teknis yang
telah
memberlakukan ketentuan pembatasan yang berlaku di seluruh Daerah
Pabean, apabila akan memberlakukan ketentuan pembatasan tersebut atas
pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean, instansi
teknis membuat penetapan tersendiri.
Ayat (4) Agar ketentuan
larangan dan
pembatasan dapat dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai,
instansi teknis yang menetapkan ketentuan larangan dan
pembatasan,memberitahukan kepada Menteri.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6) Cukup jelas.
Ayat (7) Cukup jelas.
Pasal 37 Cukup jelas.
Pasal 38 Ayat (1)
Pengenaan sanksi
dilaksanakan sesuai Pasal 7A ayat (7) Undang-Undang Kepabeanan.
Ayat (2) Pengenaan sanksi
dilaksanakan sesuai Pasal 7A ayat (8) Undang-Undang Kepabeanan.
Ayat (3) Pengenaan sanksi
dilaksanakan sesuai Pasal 9A ayat (3) Undang-Undang Kepabeanan.
Ayat (4) Pengenaan sanksi
dilaksanakan sesuai Pasal 10A ayat (3) Undang-Undang Kepabeanan.
Ayat (5)
Pasal 39Pengenaan sanksi
dilaksanakan sesuai Pasal 10A ayat (4) Undang-Undang Kepabeanan.
Ayat (6) Pengenaan sanksi
dilaksanakan sesuai Pasal 10A ayat (8) Undang-Undang Kepabeanan.
Pengeluaran barang dilakukan tanpa bermaksud untuk mengelakkan pembayaran bea masuk, karena telah diajukan Pemberitahuan Pabean dan bea masuknya telah dilunasi atau dibebaskan, akan tetapi karena pengeluarannya tanpa persetujuan pejabat bea dan cukai, atas pelanggaran tersebut dikenai sanksi administrasi berupa denda. Ayat (7) Pengenaan sanksi
dilaksanakan sesuai Pasal 11A ayat (6) Undang-Undang Kepabeanan.
Kewenangan pejabat
bea dan cukai sebagaimana diatur dalam Undang-Undang yaitu kewenangan
pejabat bea dan cukai untuk:
Pasal 40 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan
”impor” adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam
Daerah Pabean.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan
”ekspor” adalah kegiatan mengeluarkan barang dari
Daerah Pabean.
Pasal 41 Yang dimaksud dengan
“ketentuan lainnya" adalah ketentuan mengenai :
Pasal 42 Cukup jelas.
Pasal 43 Cukup jelas.
Pasal 44 Cukup jelas.
Pasal 45 Cukup jelas.
|
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5277