Peraturan Pemerintah Nomor 1 TAHUN 2012

PERATURAN PEMERINTAH
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 2012
TENTANG
PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS
BARANG MEWAH SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR
DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN
KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS
BARANG MEWAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
NOMOR 1 TAHUN 2012
TENTANG
PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS
BARANG MEWAH SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR
DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN
KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS
BARANG MEWAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
- bahwa dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000;
- bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
Mengingat :
- Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
- Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
- Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
- Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
- Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
- Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh Pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
- Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak.
- Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak.
BAB II
PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK
Pasal 2
PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK
Pasal 2
(1) | Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g, dan/atau huruf h Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. |
(2) | Pengusaha
yang sejak semula bermaksud melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g, dan/atau
huruf h Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dapat melaporkan usahanya
untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. |
(3) | Pengusaha yang sudah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang. |
Pasal 3
(1) | Bentuk kerja sama operasi merupakan bagian dari bentuk badan lainnya sebagaimana dimaksud dalam pengertian Badan dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. |
(2) | Bentuk kerja sama operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dalam hal melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak atas nama bentuk kerja sama operasi. |
Pasal 4
(1) | Pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan PajakPenjualan atas Barang Mewah. |
(2) | Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberlakukan dalam hal:
|
(3) | Tanggung jawab renteng sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditagih melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan mekanisme pelaksanaan tanggung jawab secara renteng atas pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. |
BAB III
BARANG KENA PAJAK DAN JASA KENA PAJAK
Pasal 5
BARANG KENA PAJAK DAN JASA KENA PAJAK
Pasal 5
(1) | Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak merupakan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang terutang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. |
(2) | Pemakaian
sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pemakaian sendiri untuk:
|
(3) | Pemakaian
sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk
tujuan produktif tidak dilakukan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai
atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah,
kecuali pemakaian sendiri yang digunakan untuk melakukan penyerahan
yang:
|
(4) | Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dalam rangka pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
Pasal 6
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha yang dimanfaatkan di dalam atau di luar Daerah Pabean.
Pasal 7
(1) | Jenis barang dan jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 4A Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. |
(2) | Ketentuan mengenai kriteria dan/atau rincian barang dan jasa yang termasuk dalam jenis barang dan jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. |
Pasal 8
(1) | Penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang merupakan penyerahan Barang Kena Pajak yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. |
(2) | Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang dilakukan dengan penerbitan Faktur Pajak oleh pemilik barang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(3) | Dalam hal pemilik barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menerbitkan Faktur Pajak, pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang dilakukan sendiri oleh pemenang lelang melalui Surat Setoran Pajak. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. |
BAB IV
DASAR PENGENAAN PAJAK
Pasal 9
DASAR PENGENAAN PAJAK
Pasal 9
(1) | Dasar
Pengenaan Pajak meliputi jumlah:
|
(2) | Dalam
hal:
|
(3) | Dasar Pengenaan Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah atau atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah, adalah tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dikenakan atas penyerahan atau atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut. |
(4) | Dasar
Pengenaan Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah
yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak selain:
|
BAB V
PENGHITUNGAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
ATAU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
Pasal 10
PENGHITUNGAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
ATAU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
Pasal 10
(1) | Kontrak
atau perjanjian tertulis mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
Jasa Kena Pajak paling sedikit memuat:
|
(2) | Dalam hal nilai kontrak atau perjanjian tertulis sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dalam kontrak atau perjanjian tertulis wajib disebutkan nilai kontrak atau perjanjian tertulis tersebut termasuk Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. |
(3) | Dalam hal kontrak atau perjanjian tertulis tidak menyebutkan nilai kontrak atau perjanjian tertulis tersebut termasuk Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, nilai kontrak yang tercantum dalam kontrak atau perjanjian tertulis tersebut dianggap sebagai Dasar Pengenaan Pajak. |
Pasal 11
(1) | Dalam hal Pajak Pertambahan Nilai menjadi bagian dari harga atau pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, Pajak Pertambahan Nilai yang terutang adalah 10/110 (sepuluh per seratus sepuluh) dari harga atau pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak. | ||||||||||||
(2) | Dalam
hal penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
juga terutang Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan telah menjadi
bagian dari harga atau pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak,
penghitungan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah menggunakan rumus sebagai berikut:
|
||||||||||||
(3) | Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan sebagian atau seluruh kewajiban pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Dasar Pengenaan Pajak ditetapkan sebesar Harga Jual, Penggantian, atau nilai lain sesuai hasil pemeriksaan. | ||||||||||||
(4) | Besarnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihitung berdasarkan tarif dikalikan Dasar Pengenaan Pajak menurut hasil pemeriksaan. | ||||||||||||
(5) | Dalam hal Pengusaha yang wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan kewajibannya, besarnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang dihitung sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4). |
Pasal 12
(1) | Penghapusan
piutang tidak mengakibatkan dilakukan penyesuaian Pajak
Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah yang telah:
|
(2) | Atas Barang Kena Pajak yang musnah atau rusak sehingga tidak dapat digunakan lagi baik karena di luar kekuasaan Pengusaha Kena Pajak atau keadaan kahar, tidak mengakibatkan dilakukan penyesuaian Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dikreditkan atau yang telah dibebankan sebagai biaya untuk perolehan Barang Kena Pajak yang musnah atau rusak tersebut. |
Pasal 13
(1) | Dalam
hal:
|
(2) | Pihak
yang terpungut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
Pasal 14
Dalam hal transaksi atas:
- impor Barang Kena Pajak;
- penyerahan Barang Kena Pajak;
- penyerahan Jasa Kena Pajak;
- pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak berwujud dari luar Daerah Pabean; atau
- pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean,
BAB VI
PENGKREDITAN PAJAK MASUKAN
Pasal 15
PENGKREDITAN PAJAK MASUKAN
Pasal 15
(1) | Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak harus dikreditkan dengan Pajak Keluaran di tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan. |
(2) | Dalam hal impor Barang Kena Pajak, Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau berdasarkan permohonan tertulis dari Pengusaha Kena Pajak dapat menentukan tempat lain selain tempat dilakukannya impor Barang Kena Pajak, sebagai tempat pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penentuan tempat lain selain tempat dilakukannya impor Barang Kena Pajak sebagai tempat pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. |
Pasal 16
(1) | Bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi sehingga belum melakukan penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal dapat dikreditkan. |
(2) | Barang
modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah harta berwujud yang
memiliki masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang menurut tujuan
semula tidak untuk diperjualbelikan, termasuk pengeluaran berkaitan
dengan perolehan barang modal yang dikapitalisasi ke dalam harga
perolehan barang modal tersebut. |
(3) | Ketentuan mengenai pengkreditan Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan barang modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berlaku untuk seluruh kegiatan usaha. |
BAB VII
SAAT DAN TEMPAT TERUTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
ATAU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
Pasal 17
SAAT DAN TEMPAT TERUTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
ATAU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
Pasal 17
(1) | Terutangnya
Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah terjadi pada saat:
|
||||||||||
(2) | Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pada saat pembayaran. | ||||||||||
(3) | Penyerahan
Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk:
|
||||||||||
(4) | Impor Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terjadi pada saat Barang Kena Pajak tersebut dimasukkan ke dalam Daerah Pabean. | ||||||||||
(5) | Penyerahan
Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terjadi pada
saat:
|
||||||||||
(6) | Pemanfaatan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak
dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan
huruf e terjadi pada saat:
|
||||||||||
(7) | Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean terjadi pada tanggal ditandatanganinya kontrak atau perjanjian, dalam hal saat terjadinya Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak diketahui. | ||||||||||
(8) | Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f terjadi pada saat Barang Kena Pajak dikeluarkan dari Daerah Pabean. | ||||||||||
(9) | Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g terjadi pada saat Penggantian atas Barang Kena Pajak Tidak Berwujud yang diekspor tersebut dicatat atau diakui sebagai piutang atau penghasilan. | ||||||||||
(10) | Ekspor Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h terjadi pada saat Penggantian atas jasa yang diekspor tersebut dicatat atau diakui sebagai piutang atau penghasilan. |
Pasal 18
(1) | Pengusaha Kena Pajak yang terutang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah pada lebih dari 1 (satu) tempat kegiatan usaha, dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya dapat menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak untuk memilih satu tempat atau lebih sebagai tempat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. |
(2) | Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyelenggarakan administrasi penjualan secara terpusat pada 1 (satu) atau lebih tempat kegiatan usaha. |
BAB VIII
FAKTUR PAJAK
Pasal 19
FAKTUR PAJAK
Pasal 19
(1) | Faktur Pajak wajib diterbitkan oleh Pengusaha Kena Pajak pada saat penyerahan atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 17 ayat (3), ayat (5), ayat (8), ayat (9), dan ayat (10). |
(2) | Ketentuan mengenai kewajiban penerbitan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif yang tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5ayat (3). |
(3) | Faktur Pajak yang diterbitkan oleh Pengusaha Kena Pajak setelah melewati jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak saat Faktur Pajak seharusnya dibuat tidak diperlakukan sebagai Faktur Pajak. |
(4) | Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dianggap tidak menerbitkan Faktur Pajak. |
(5) | Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan. |
Pasal 20
(1) | Pedagang eceran yang membuat Faktur Pajak tanpa mencantumkan keterangan mengenai identitas pembeli serta nama dan tanda tangan penjual, tidak diterbitkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf e angka 2 Undang-Undang mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. |
(2) | Pedagang
eceran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Pengusaha
Kena Pajak yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak dengan cara sebagai berikut:
|
(3) | Termasuk
dalam pengertian Pedagang eceran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah Pengusaha Kena Pajak yang dalam kegiatan usaha atau
pekerjaannya melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak dengan cara sebagai
berikut:
|
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 21
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 21
Ketentuan mengenai penerbitan Faktur Pajak yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 20 berlaku sejak tanggal 1 April 2010.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 22
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 22
(1) | Pada
saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
|
(2) | Pada
saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
|
Pasal 23
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 3 Januari 2012
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
pada tanggal 3 Januari 2012
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 4 Januari 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK
INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 4
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 2012
TENTANG
PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS
BARANG MEWAH SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR
DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN
KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS
BARANG MEWAH
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 2012
TENTANG
PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS
BARANG MEWAH SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR
DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN
KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS
BARANG MEWAH
I. | UMUM Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terdapat perubahan materi sehingga perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalarn Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000. Berdasarkan Pasal 19 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, Peraturan Pemerintah ini disusun untuk memberikan penegasan dan penjelasan lebih lanjut serta untuk mengatur hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, antara lain mengenai tanggung jawab renteng pembayaran Pajak Pertambahan Nilai, pemakaian sendiri, saat penerbitan Faktur Pajak, rincian barang dan jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai, pengertian barang modal yang terkait dengan pengkreditan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi, dan pengertian Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran. Sesuai dengan ketentuan Pasal 16F Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak bertanggung jawab secara renteng terhadap pembayaran Pajak Pertambahan Nilai. Namun demikian, pengaturan tanggung jawab secara renteng belum diatur secara jelas sehingga perlu diatur norma umum dan persyaratan mengenai tanggung jawab renteng dalam Peraturan Pemerintah ini. Dalam rangka memberikan kemudahan administrasi bagi Pengusaha Kena Pajak, Peraturan Pemerintah ini mengatur bahwa atas pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif yang terutang Pajak Pertambahan Nilai tidak perlu dilakukan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan penerbitan Faktur Pajak. Sebaliknya, untuk pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan konsumtif, Pengusaha Kena Pajak wajib menerbitkan Faktur Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Jenis barang dan jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diatur dalam Pasal 4A Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai masih bersifat umum, sehingga perlu diatur lebih lanjut mengenai kriteria dan/atau rincian jenis barang dan jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai. Hal ini sangat penting untuk memberikan kepastian hukum dalam menentukan jenis barang dan jasa yang bukan merupakan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak. Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi hanya dapat mengkreditkan Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal. Dalam rangka memberikan kepastian hukum dan memperhatikan aspek keadilan, Peraturan Pemerintah ini mengatur bahwa barang modal mencakup seluruh harta berwujud yang memiliki masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dan berlaku untuk semua jenis kegiatan usaha. Saat terutangnya pajak merupakan hal yang penting untuk menentukan waktu bagi Pengusaha Kena Pajak untuk menerbitkan Faktur Pajak. Saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sangat bervariasi sehingga perlu penjelasan dan penegasan untuk menghindari terjadinya multitafsir dan ketidakpastian hukum. Penegasan dimaksud dibuat selaras dengan praktik bisnis yang lazim dan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Untuk memberikan keseimbangan dalam pemenuhan kewajiban Pajak Pertambahan Nilai bagi Pengusaha Kena Pajak penjual dan Pengusaha Kena Pajak pembeli, sudah selayaknya Pengusaha Kena Pajak pembeli tidak diperkenankan untuk mengkreditkan Pajak Masukan yang Faktur Pajaknya diterbitkan setelah melebihi jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak saat terutangnya pajak. Ketentuan ini dimaksudkan agar Pengusaha Kena Pajak pembeli ikut mengawasi Pengusaha Kena Pajak penjual untuk menerbitkan Faktur Pajak secara tepat waktu. Pengusaha Kena Pajak yang bukan pedagang eceran tetapi melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak secara eceran akan mengalami kesulitan dalam menerbitkan Faktur Pajak apabila diperlakukan sama dengan Pengusaha Kena Pajak pada umumnya yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak tidak secara eceran. Untuk itu, perlu diberikan penegasan dan penjelasan bahwa Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan dengan karakteristik secara eceran termasuk dalam pengertian Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran. Termasuk dalam pengertian Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran adalah Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan jasa secara eceran. Substansi pengaturan atas pemberian fasilitas Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut untuk impor Barang Kena Pajak tertentu yang dibebaskan dari bea masuk sudah tidak diatur lagi dalam Peraturan Pemerintah ini. Selanjutnya fasilitas tersebut akan diatur dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur khusus tentang fasilitas Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 16B Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Namun demikian, dalam rangka memberikan kepastian hukum, pemberian fasilitas tersebut yang selama ini diatur dalam peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 masih tetap berlaku sampai dengan Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang pemberian fasilitas dimaksud diterbitkan. Untuk memberikan kemudahan bagi Pengusaha Kena Pajak dalam menerbitkan Faktur Pajak sesuai dengan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai maka ketentuan penerbitan Faktur Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 20 Peraturan Pemerintah ini berlaku sejak tanggal 1 April 2010, yaitu sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
II. | PASAL
DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas.
Pasal 2 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pengukuhan sebagai
Pengusaha Kena
Pajak mempunyai akibat hukum yang luas antara lain berkaitan dengan
pembuatan Faktur Pajak, penerapan tarif 0% (nol persen), pengkreditan
Pajak Masukan, dan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan
Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah. Agar pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terlaksana secara efektif
dan lancar, sudah sewajarnya apabila pengusaha yang sejak semula
bermaksud melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena
Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak
Tidak Berwujud, dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak dapat melaporkan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 3 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) Contoh bentuk kerja
sama operasi (joint operation) yang wajib untuk dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak:
PT ABC dan PT DEF membuat perjanjian kerja dengan pelanggan (pemilik proyek). Untuk melaksanakan proyek tersebut, PT ABC dan PT DEF membentuk joint operation. Dalam perjanjian kerja dengan pelanggan (pemilik proyek) diatur bahwa semua transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pelanggan (pemilik proyek) dilakukan atas nama joint operation. Berdasarkan hal di atas:
Contoh bentuk kerja sama operasi (joint operation) yang tidak wajib untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak: PT X dan PT Y membuat perjanjian kerja sama dengan pelanggan (pemilik proyek). Untuk melaksanakan proyek tersebut, PT X dan PT Y membentuk joint operation. Namun demikian, dalam pelaksanaannya semua transaksi dan dokumentasi terkait dengan perjanjian kerja sama dengan pelanggan (pemilik proyek) tersebut secara nyata hanya dilakukan atas nama PT X. Karena joint operation secara nyata tidak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pihak lain, maka dalam hal ini joint operation tidak wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Pasal 4 Ayat (1)
Tanggung renteng
melekat pada
pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak atas transaksi
pembelian Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah
Pabean.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 5 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan
"Pemakaian
sendiri Barang Kena Pajak" adalah pemakaian Barang Kena Pajak untuk
kepentingan pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawannya, baik barang
produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri.
Yang dimaksud dengan "Pemakaian sendiri Jasa Kena Pajak" adalah pemakaian Jasa Kena Pajak untuk kepentingan pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawannya. Ayat (2)
Yang dimaksud dengan
"Pemakaian
sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan
produktif" adalah pemakaian Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak
yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan produksi selanjutnya atau
untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha
Pengusaha yang bersangkutan, yang meliputi kegiatan produksi,
distribusi, pemasaran, dan manajemen.
Yang dimaksud dengan "Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan konsumtif" adalah pemakaian Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang tidak ada kaitan dengan kegiatan produksi selanjutnya atau untuk kegiatan yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha Pengusaha yang bersangkutan, yang meliputi kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen. Contoh pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak:
Ayat (3)
Transaksi pemakaian
sendiri untuk
tujuan produktif terutang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Dalam rangka
memberikan kemudahan administrasi kepada Pengusaha Kena Pajak,
pemakaian sendiri untuk tujuan produktif tidak dilakukan pemungutan
Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah. Kemudahan administrasi tersebut diberikan
karena Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak
atas pemakaian sendiri untuk tujuan produktif merupakan Pajak Masukan
yang dapat dikreditkan.
Ketentuan ini tidak berlaku dalam hal pemakaian sendiri digunakan untuk kegiatan yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Perlakuan ini diberikan karena Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak atas pemakaian sendiri merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan. Contoh pemakaian sendiri untuk tujuan produktif: Pabrikan ban menggunakan produksi ban sendiri untuk:
Atas pemakaian sendiri untuk tujuan produktif sebagaimana dimaksud pada contoh huruf a tidak dilakukan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai. Namun demikian, atas pemakaian sendiri untuk tujuan produktif sebagaimana dimaksud pada contoh huruf b tetap dipungut Pajak Pertambahan Nilai, karena digunakan untuk penyerahan jasa angkutan umum yang merupakan penyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai. Ayat (4)
Dalam hal Barang
Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dipakai sendiri tidak termasuk
dalam kategori
Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dibebaskan, Pajak
Pertambahan Nilai yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan sepanjang memenuhi ketentuan sebagai Pajak Masukan yang
dapat dikreditkan.
Dengan demikian apabila yang dipakai sendiri adalah Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak merupakan .Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan. Demikian juga apabila barang dan/atau jasa yang dipakai sendiri termasuk dalam jenis bukan Barang Kena Pajak dan/atau bukan Jasa Kena Pajak, Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar atas perolehan barang dan/atau jasa tersebut merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan. Pasal 6 Sesuai dengan
Penjelasan Pasal 4
ayat (1) huruf c Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yang menyatakan
bahwa penyerahan jasa yang terutang pajak harus memenuhi syarat sebagai
berikut:
Contoh 1: A Corp. yang berdomisili di Jepang mengirimkan lagu kepada PT B di Indonesia untuk dibuatkan penulisan not balok atas lagu tersebut. Penulisan not balok yang telah selesai dikirim kembali ke Jepang. Atas jasa penulisan not balok yang dilakukan oleh PT B tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai. Contoh 2: Z Corp. yang berdomisili di Korea Selatan berencana memasarkan produknya di Indonesia. Oleh karena itu, Z Corp. menyewa PT DEF di Indonesia untuk melakukan survei pasar di Indonesia. Jasa survei yang dilakukan oleh PT DEF tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai. Pasal 7 Cukup jelas.
Pasal 8 Cukup jelas.
Pasal 9 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam
hal Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah menggunakan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah
lainnya sebagai bagian dari Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang
dihasilkannya, dan atas perolehannya telah dibayar Pajak Penjualan atas
Barang Mewah maka Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dibayar
tersebut merupakan bagian dari biaya produksi Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah yang dihasilkannya.
Dengan demikian, Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas perolehan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang menjadi bagian atau digunakan untuk menghasilkan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah termasuk dalam Dasar Pengenaan Pajak. Contoh: PT A merupakan produsen mobil. Dalam menghasilkan mobil, PT A juga membeli AC yang akan dipasang pada mobil yang dihasilkannya. Atas perolehan AC tersebut PT A telah membayar Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebesar Rp350.000,00. Apabila harga produksi mobil sebesar Rp110.000.000,00 dan keuntungan yang diinginkan PT A sebesar Rp40.000.000,00 maka Harga Jual mobil tersebut sebesar Rp150.350.000,00. Dengan demikian Dasar Pengenaan Pajak atas mobil tersebut adalah sebesar Rp150.350.000,00. Pajak yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut:
Ayat (3)
Contoh 1:
PT X yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah menjual Barang Kena Pajak tersebut kepada PT A dengan Harga Jual sebesar Rp100.000.000,00. Atas penjualan tersebut dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10% dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebesar 20%. Dasar Pengenaan Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut adalah sebesar Rp100.000.000,00, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (sebesar 10%) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (sebesar 20%) yang dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut. Dengan demikian jumlah yang dibayar oleh PT A adalah sebagai berikut:
Contoh 2: PT C mengimpor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah dengan Nilai Impor sebesar Rp200.000.000,00. Atas impor tersebut dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10% dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebesar 30%. Dasar Pengenaan Pajak atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut adalah sebesar Rp200.000.000,00, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (sebesar 10%) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (sebesar 30%) yang dikenakan atas impor Barang Kena Pajak tersebut. Dengan demikian jumlah yang dibayar oleh PT C adalah sebagai berikut:
Ayat (4)
Contoh 1: Kelanjutan dari contoh 1 sebagaimana dimaksud pada Penjelasan ayat (3), PT A menjual Barang Kena Pajak tersebut kepada PT B dengan keuntungan yang diharapkan sebesar Rp15.000.000,00. Dasar Pengenaan Pajak atas penjualan tersebut termasuk Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak tersebut. Dengan demikian, jumlah yang dibayar oleh PT B adalah sebagai berikut:
Contoh 2 : Kelanjutan dari contoh 2 sebagaimana dimaksud pada Penjelasan ayat (3), PT C menjual Barang Kena Pajak tersebut kepada PT D dengan keuntungan yang diharapkan sebesar Rp40.000.000,00. Dasar Pengenaan Pajak atas penjualan tersebut termasuk Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dibayar atas impor Barang Kena Pajak tersebut. Dengan demikian, jumlah yang dibayar oleh PT D adalah sebagai berikut:
Pasal 10 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh:
Apabila dalam pembuatan kontrak atau perjanjian tertulis bahwa dalam nilai kontrak sebesar Rp130.000.000,00 secara tegas dinyatakan sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai (sebesar 10%) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (sebesar 20%), penghitungan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah menurut ayat ini adalah sebagai berikut: Pajak Pertambahan Nilai yang terutang =
Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang =
Ayat (3)
Sebagaimana contoh
pada
penjelasan ayat (2), apabila dalam kontrak atau perjanjian tertulis
tidak dinyatakan dengan tegas bahwa Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah termasuk dalam nilai kontrak, besarnya
Dasar Pengenaan Pajak untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai adalah
sebesar Rp130.000.000,00. Sehingga penghitungan Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah sebagai berikut:
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan
"t" adalah besarnya tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Ayat (3)
Berdasarkan hasil
pemeriksaan diketahui:
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 12 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan
"piutang" adalah piutang dagang yang timbul karena penyerahan Barang
Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak.
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak. Dalam hal piutang yang timbul karena penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut dihapuskan, penghapusan tersebut tidak mempunyai akibat terhadap konsumsi Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut. Oleh karena itu, bagi Pengusaha Kena Pajak penjual yang menghapuskan piutangnya tidak perlu melakukan penyesuaian atas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dilaporkan. Sementara bagi Pengusaha Kena Pajak pembeli yang menikmati penghapusan piutangnya tidak perlu melakukan penyesuaian Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dikreditkan atau yang telah dibebankan sebagai biaya. Ayat (2)
Yang dimaksud dengan
"keadaan
kahar" atau force majeure adalah suatu kejadian yang terjadi di luar
kemampuan manusia dan tidak dapat dihindarkan sehingga suatu kegiatan
tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat dilaksanakan sebagaimana
mestinya.
Yang termasuk kategori keadaan kahar atau force majeure adalah peperangan, kerusuhan, revolusi, bencana alam, pemogokan, kebakaran, dan bencana lainnya yang harus dinyatakan oleh pejabat/instansi yang berwenang. Pasal 13 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Termasuk dalam
pengertian pembeli
barang dalam ketentuan ini adalah Pemungut Pajak Pertambahan Nilai
dalam hal transaksi penyerahan Barang Kena Pajak kepada Pemungut Pajak
Pertambahan Nilai.
Huruf c Termasuk dalam
pengertian
penerima jasa dalam ketentuan ini adalah Pemungut Pajak Pertambahan
Nilai dalam hal transaksi penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut
Pajak Pertambahan Nilai.
Huruf d Cukup jelas.
Huruf e Cukup jelas.
Pasal 14 Cukup jelas.
Pasal 15 Ayat (1)
Tempat pengkreditan
Pajak Masukan
adalah di tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan. Faktur Pajak yang
menjadi dasar pengkreditan harus memenuhi ketentuan yang berlaku antara
lain alamat Pengusaha Kena Pajak yang tercantum dalam Faktur Pajak
harus sama dengan alamat Pengusaha Kena Pajak yang tercantum dalam
Surat Keputusan Pengukuhan.
Dalam hal Pengusaha melakukan impor Barang Kena Pajak dan tempat melakukan impor berbeda dengan tempat Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tempat pengkreditan Pajak Masukan atas impor Barang Kena Pajak adalah di tempat Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Dengan demikian Pengusaha Kena Pajak yang melakukan impor Barang Kena Pajak tersebut tidak perlu dikukuhkan lagi sebagai Pengusaha Kena Pajak di tempat Barang Kena Pajak tersebut diimpor. Contoh: PT A dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak di Jakarta, melakukan impor di Surabaya. Pajak Masukan atas impor Barang Kena Pajak dikreditkan di tempat pengusaha dikukuhkan di Jakarta. Atas impor ini PT A tidak perlu lagi dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak di Surabaya. Ayat (2)
Pengusaha yang
dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak di lebih dari satu tempat kegiatan usaha dapat
memilih salah satu tempat sebagai tempat pengkreditan atas impor Barang
Kena Pajak dengan permohonan tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak.
Contoh: Pengusaha Kena Pajak A yang kantor pusatnya di Jakarta dan telah terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Gambir Satu memiliki pabrik yang terletak di kota Surakarta dan terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta. Pemberitahuan Impor Barang dalam rangka impor Barang Kena Pajak menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak kantor pusat di Jakarta. Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Pengusaha Kena Pajak di Surakarta dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang tercantum dalam dokumen impor tersebut. Direktur Jenderal Pajak karena jabatan dapat menetapkan tempat lain selain tempat dilakukannya impor Barang Kena Pajak, sebagai tempat pengkreditan Pajak Masukan. Ketentuan ini diperlukan untuk memberikan kemudahan bagi Pengusaha Kena Pajak yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak tertentu yang pemenuhan kewajiban Pajak Pertambahan Nilainya ditetapkan secara terpusat. Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 16 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan mengenai
masa manfaat
lebih dari 1 (satu) tahun untuk barang modal mengacu pada ketentuan
peraturan perundangundangan di bidang Pajak Penghasilan yang
pembebanannya sebagai biaya dalam penghitungan Pajak Penghasilan harus
melalui penyusutan. Pajak Masukan atas impor dan/atau perolehan barang
modal tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.
Contoh: Pengusaha Kena Pajak membeli barang modal berupa mesin dari luar Daerah Pabean. Untuk pemasangannya, Pengusaha Kena Pajak memanfaatkan jasa pemasangan dari Pengusaha Kena Pajak lain di dalam Daerah Pabean. Pembayaran atas jasa pemasangan yang dikapitalisasi ke dalam harga perolehan mesin tersebut merupakan pengeluaran yang Pajak Masukannya dapat dikreditkan. Ayat (3)
Ketentuan mengenai
pengkreditan
Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal bagi Pengusaha
Kena Pajak yang belum berproduksi berlaku untuk seluruh kegiatan usaha
yang meliputi kegiatan industri atau manufaktur, kegiatan usaha
perdagangan, kegiatan usaha jasa, dan kegiatan usaha lainnya.
Pasal 17 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Huruf a
Saat penyerahan
barang bergerak
merupakan dasar penentuan saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan
sekaligus sebagai dasar pembuatan Faktur Pajak.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mensinkronisasikan saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan praktik yang lazim terjadi dalam kegiatan usaha yang tercermin dalam praktik pencatatan atau pembukuan berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum serta diterapkan secara konsisten oleh Pengusaha Kena Pajak. Dalam praktik kegiatan usaha dan berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum, maka:
Dalam kegiatan usaha, saat pengakuan piutang atau penghasilan atau saat penerbitan faktur penjualan dapat terjadi tidak bersamaan dengan saat penyerahan barang secara fisik sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b. Oleh karena itu, dalam rangka memberikan kemudahan administrasi terkait dengan saat penerbitan Faktur Pajak, saat penerbitan faktur penjualan ditetapkan sebagai saat penyerahan barang yang menjadi dasar saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Termasuk dalam pengertian faktur penjualan adalah dokumen lain yang berfungsi sama dengan faktur penjualan. Huruf b
Penyerahan Barang
Kena Pajak
untuk Barang Kena Pajak tidak bergerak terjadi pada saat surat atau
akta perjanjian yang mengakibatkan perpindahan hak atas barang tersebut
ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan. Saat tersebut menjadi
dasar penentuan saat terutang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Namun demikian, dalam hal penyerahan hak atas barang tidak bergerak tersebut secara nyata telah terjadi meskipun surat atau akta perjanjian yang mengakibatkan perpindahan hak belum ditandatangani, penyerahan Barang Kena Pajak dianggap telah terjadi. Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud
dengan
"persediaan" adalah persediaan bahan baku, persediaan bahan pembantu,
persediaan barang dalam proses, persediaan barang setengah jadi,
dan/atau persediaan barang jadi.
Huruf e
Yang dimaksud
dengan
"penggabungan usaha, pengambilalihan usaha, pemecahan usaha, dan
peleburan usaha" adalah penggabungan usaha, pengambilalihan usaha,
pemisahan usaha, dan peleburan usaha sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perseroan terbatas.
Yang dimaksud dengan "pemekaran usaha" adalah pemisahan satu badan usaha menjadi dua badan usaha atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan tanpa melakukan likuidasi badan usaha yang lama. Yang dimaksud dengan "perubahan bentuk usaha" adalah berubahnya bentuk usaha yang digunakan oleh Pengusaha Kena Pajak, misalnya semula bentuk usaha Pengusaha Kena Pajak adalah Commanditaire Vennotschap kemudian berubah menjadi Perseroan Terbatas. Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Penyerahan Jasa Kena
Pajak
terjadi pada saat mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk
dipakai secara nyata, baik sebagian atau seluruhnya. Saat penyerahan
Jasa Kena Pajak ini merupakan dasar penentuan saat terutangnya Pajak
Pertambahan Nilai dan sekaligus sebagai dasar pembuatan Faktur Pajak.
Namun demikian, dalam praktik kegiatan usaha dan berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum, saat pengakuan piutang atau penghasilan, atau saat penerbitan faktur penjualan dapat terjadi tidak bersamaan dengan saat mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian atau seluruhnya. Dalam rangka memberikan kemudahan administrasi terkait dengan saat penerbitan Faktur Pajak, saat penerbitan faktur penjualan dapat ditetapkan sebagai saat penyerahan jasa yang menjadi dasar saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mensinkronisasikan saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai dengan praktik yang lazim terjadi dalam kegiatan usaha yang tercermin dalam praktik pencatatan atau pembukuan berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum serta diterapkan secara konsisten oleh Pengusaha Kena Pajak. Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7) Cukup jelas.
Ayat (8) Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10) Cukup jelas.
Pasal 18 Cukup jelas.
Pasal 19 Ayat (1)
Secara prinsip
Faktur Pajak harus
dibuat pada saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, namun demikian
karena suatu hal dapat terjadi keterlambatan penerbitan Faktur Pajak.
Atas keterlambatan penerbitan Faktur Pajak dikenakan sanksi sesuai
Pasal 14 ayat (1) huruf d juncto Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang
mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan tanpa adanya ketentuan
mengenai batas waktu keterlambatan. Untuk menjamin kepastian
terlaksananya pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, perlu adanya pembatasan jangka waktu
penerbitan Faktur Pajak. Di samping itu, ketentuan ini dimaksudkan juga
untuk menyelaraskan pengakuan penghasilan di dalam menghitung peredaran
usaha yang digunakan di dalam menghitung Pajak Penghasilan dengan
peredaran usaha yang digunakan untuk menghitung Pajak Pertambahan
Nilai. Dengan demikian, saat pembuatan Faktur Pajak ditentukan sesuai
dengan prinsip bisnis yang sehat dan harus memenuhi prinsip akuntansi
yang berlaku umum serta diterapkan secara konsisten.
Termasuk dalam pengertian Faktur Pajak dalam ketentuan ini adalah dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak yang diterbitkan atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak. Untuk kepastian hukum dan untuk memberikan kemudahan administrasi kepada Pengusaha Kena Pajak dalam memenuhi kewajiban Pajak Pertambahan Nilai perlu penjelasan atau penegasan dalam bentuk ilustrasi kapan saat pembuatan Faktur Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan ekspor Barang Kena Pajak. Contoh saat
pembuatan Faktur Pajak:
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pada dasarnya Faktur
Pajak harus
dibuat pada saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa
Kena Pajak, namun demikian karena suatu hal dapat terjadi keterlambatan
penerbitan Faktur Pajak. Atas keterlambatan penerbitan Faktur Pajak
dikenai sanksi sesuai Pasal 14 ayat (1) huruf d juncto Pasal 14 ayat
(4) Undang-Undang mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
tanpa adanya ketentuan mengenai batas waktu keterlambatan. Untuk
menjamin kepastian terlaksananya pemungutan Pajak Pertambahan Nilai
atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang
terutang Pajak Pertambahan Nilai, perlu adanya pembatasan jangka waktu
penerbitan Faktur Pajak. Di samping itu, ketentuan ini dimaksudkan juga
untuk menyelaraskan pengakuan penghasilan di dalam menghitung peredaran
usaha yang digunakan di dalam menghitung Pajak Penghasilan dengan
peredaran usaha yang digunakan untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai.
Termasuk dalam pengertian Faktur Pajak dalam ketentuan ini adalah dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak yang diterbitkan atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak. Ayat (4)
Faktur Pajak
merupakan bukti
pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak.
Dengan demikian, Faktur Pajak yang diterbitkan oleh Pengusaha Kena
Pajak yang melebihi batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
bukan merupakan bukti pungutan pajak yang sah.
Ayat (5)
Ketentuan ini
dimaksudkan untuk
melindungi pembeli Barang Kena Pajak dan/atau penerima Jasa Kena Pajak
dengan menegaskan bahwa Faktur Pajak yang diterbitkan lebih dari 3
(tiga) bulan sejak saat Faktur Pajak seharusnya dibuat sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) bukan merupakan bukti pungutan pajak yang sah,
sehingga Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak
tidak dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan.
Pasal 20 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penyerahan Barang
Kena Pajak yang
dilakukan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam ayat ini, yang pada
umumnya dilakukan kepada/untuk konsumen akhir, pada dasarnya merupakan
kegiatan penyerahan secara eceran. Oleh karena itu, Faktur Pajak atas
penyerahan Barang Kena Pajak secara eceran kepada konsumen akhir yang
dibuat tanpa mencantumkan identitas pembeli serta nama dan tanda tangan
Pengusaha Kena Pajak penjual tidak akan dikenakan sanksi atau
diterbitkan Surat Tagihan Pajak, karena termasuk dalam pengertian
Faktur Pajak yang diterbitkan oleh Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf e angka 2
Undang-Undang mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Contoh tempat penjualan eceran yaitu toko dan kios. Yang dimaksud dengan "konsumen akhir" adalah pembeli yang mengkonsumsi secara langsung barang tersebut, dan tidak digunakan atau dimanfaatkan untuk kegiatan produksi atau perdagangan. Namun demikian Pengusaha Kena Pajak tetap diperkenankan untuk menerbitkan Faktur Pajak secara lengkap meskipun penyerahan Barang Kena Pajak dilakukan kepada konsumen akhir, misalnya dalam hal pembeli sebagai konsumen akhir adalah Pemungut Pajak Pertambahan Nilai. Pengusaha Kena Pajak yang kegiatan usaha atau pekerjaan utamanya tidak melakukan usaha perdagangan secara eceran (pabrikan atau distributor) tetapi melakukan penyerahan Barang Kena Pajak secara eceran, maka atas penyerahan Barang Kena Pajak secara eceran tersebut Pengusaha Kena Pajak dapat menerbitkan Faktur Pajak tanpa mencantumkan keterangan mengenai identitas pembeli serta nama dan tanda tangan penjual. Ayat (3)
Contoh tempat
penyerahan jasa secara langsung kepada konsumen akhir yaitu gerai dan
kios.
Pasal 21 Cukup jelas.
Pasal 22 Cukup jelas.
Pasal 23 Cukup jelas.
|
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5271